Friday, June 24, 2011

Mubarak dan Candu Kekuasaan

Kekuasaan Mubarak akhirnya jatuh setelah didemo oleh rakyatnya selama berhari- hari dan merenggut banyak korban. Dia tak punya pilihan, meskipun keinginan untuk tetap berkuasa masih kuat, Namun tekanan yang besar memaksanya untuk mundur. Berkuasa selama 30 tahun membuatnya ketagihan, seperti seorang pencandu narkotika yang ketergantungan, meski tahu akan berdampak buruk pada dirinya bahkan bisa menyebabkan kematian namun dia tak sanggup menghentikannya. Mubarak semestinya berterima kasih pada rakyatnya, seperti halnya keluarga yang melepaskannya dari zona nyaman yang sangat berbahaya.

Kondisi masa depan Mesir pasca jatuhnya Mubarak sangat tidak menentu. Penderitaan rakyat, kemunduran ekonomi, konflik horizontal di masyarakat adalah hal yang pasti terjadi akibat ambisi mempertahankan kekuasaan yang berlebih dimana rakyat selalu menjadi korban. Tak semua Negara mampu melewati turbulensi politik dalam transisi kekuasaan, Bahkan beberapa Negara hilang dalam peta dunia akibat tak mampu melewati turbulensi politik seperti itu,

Ketagihan berkuasa suatu rezim memiliki dampak negative yang sangat besar, baik bagi sang tirani terlebih bagi rakyatnya. Sebegitu buruknya kah kekuasaan sehingga dianalogikan dengan narkotika? Narkotika sesungguhnya sangat di butuhkan di saat yang tepat, saat operasi misalnya. Dengan dosis yang tepat narkotika sangat bermanfaat,seperti juga kekuasaan hanya bermanfaat jika dengan aturan dan batas waktu yang tepat. Berkuasa melintasi beberapa generasi jelas over dosis, kadaluarsa dan sudah tentu berbahaya bagi masyarakat.

Dalam pandangan islam, kekuasaan adalah alat untuk memakmurkan bumi, sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi menebarkan rahmat. Kekuasan ( amanah) bukan untuk di syukuri tetapi seharusnya orang yang mendapatkannya harus berduka ibarat mendapat musibah sehingga layak mengucapkan innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kekuasaan membutuhkan tanggung jawab yang berat, dan juga harus di pertanggung jawabkan di hari kemudian. Dalam al-Qur’an surah As-shaad ayat 26, Allah swt telah memperingatkan, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Namun, banyak orang mengira bahwa berkuasa itu adalah nikmat, sehingga harus di rebut dengan berbagai cara dengan mengorbankan harta benda, harga diri, keluarga, ketentraman sosial bahkan nyawa manusia. Fenomena merebut kekuasaan dengan berbagai cara bukan lagi sesuatu yang aneh di Indonesia. Tontonan perebutan kekuasaan di pilkada selalu menghiasi headline media massa . Kerusakan yang ditimbulkannya begitu banyak, dan perbaikan yang akan dilakukannya kelak jika berkuasa belum tentu besar. Bahkan calon penguasa yang ambisius cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi ketika berkuasa. Penyebabnya tiada lain adalah asumsi bahwa kekuasaan adalah suatu kenikmatan dan kesempatan yang harus direbut, tanpa melihat beratnya tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Manusia dari masa ke masa memang banyak yang tergoda dengan silaunya zona nyaman kekuasaan. Jika merebutnya saja banyak orang yang tergila- gila sampai harus mengorbankan seluruh hidupnya, apatah lagi oleh orang yang telah mengecapnya. Ibarat orang kehausan meminum air laut, rasa hausnya tidak akan hilang, malahan akan bertambah. Pemimpin yang terjebak dalam zona ini cenderung menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya, seluruh energinya di habiskan untuk hal tersebut sehingga berbagai persoalan rakyat yang menjadi tugas pokoknya menjadi terlupakan. Penyalahgunaan wewenang pejabat,Korupsi, Penggelapan pajak adalah bagian dari tidak terkontrolnya negara dan lemahnya tanggung jawab pemegang kendali kekuasaan.
Mubarak hanyalah satu contoh dari sekian penguasa yang sulit menghentikan dirinya dari kecanduan berkuasa. Meski rakyat yang di pimpinnya sudah tak sanggup lagi, pertanda gagalnya pereintahan yang dipimpinya namun jika tak dipaksa dia tidak akan berhenti. Ini pertanda bahwa tanggung jawab yang menjadi tujuan utama kekuasaan memang telah diabaikan. Jadi untuk apa berkuasa jika rakyat sudah tak merasakan manfaatnya, bukankah tanggung jawab kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat.
Peralihan kekuasaan di Indonesia

Dalam sejarah Indonesia, Kita telah menyaksikan efek candu kekuasaan pada dua rezim yang berakhir buruk , Sukarno dan Suharto. Tak seorang pun yang meragukan kemampuan dan tanggung jawab Sukarno untuk memegang tampuk kekuasaan diawal pemerintahannya, namun ternyata beliau juga tak mampu melepaskan diri dari candu kekuasaan sehingga lahirlah ide demokrasi terpimpin dan Tap MPR tentang presiden seumur hidup. Ketidakmampuan melepaskan diri dari zona nyaman kekuasaan berakhir buruk untuk dirinya dan juga seluruh bangsa Indonesia.Munculnya berbagai pemberontakan di berbagai wilayah Indonesia sebenarnya pertanda adanya signal bahwa kekuasaan sudah berjalan tidak sehat. Namun Sukarno tak mampu melepaskan diri dari zona nyaman kekuasaan. Peralihan kekuasaan pun terjadi dengan abnormal dan rakyat menanggung akibat yang tidak kecil. Turbulensi peralihan kekuasaan yang harus di bayar mahal oleh negeri ini, termasuk keterlambatan untuk sejajar dengan bangsa lain di dunia.
Demikian juga halnya dengan Orde baru, Suharto yang menerima amanat penderitaan rakyat Indonesia di saat jatuhnya sukarno, juga tak mampu belajar dari sejarah. Kendali kekuasaan yang di amanahkan padanya juga membuatnya silau, Beliau tak sanggup berhenti disaat yang tepat, bahkan berusaha mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun dan berakhir buruk setelah dipaksa turun oleh mahasiswa ditahun 1998. Sekali lagi, rakyat menanggung akibat yang tidak kecil. Kerugian materil dan immaterial, bahkan ratusan nyawa rakyat harus menjadi tumbal. Bahkan efek transisi kekuasaan pasca Suharto masih belum stabil sampai hari ini.

Para pemegang kendali kekuasaan seharusnya belajar dari sosok Muhammad Hatta sebagai seorang tokoh yang mampu mengendalikan diri dari nafsu berkuasa. Belau tidak silau dengan sona nyaman kekuasaan, menyadari bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab yang berat,Beliau tidak menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri. Bahkan pada saat beliau tak mampu lagi berbuat banyak terhadap rakyat sesuai yang di pahaminya akibat persoalan- persoalan politik waktu itu, beliau dengan segala kearifannya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden.

Peristiwa jatuhnya Mubarak, seperti juga jatuhnya tirani- tirani sebelumnya seharusnya menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia. Baik bagi kita yang belum berkuasa terlebih yang sudah memegang kekuasaan. Kekuasaan bukanlah kenikmatan atau kesempatan untuk memperkaya diri tetapi adalah tanggung jawab yang besar untuk kepentingan rakyat. Jika tak sanggup menjawab persoalan – persoalan yang dihadapi rakyat sebaiknnya mempersilahkan orang lain yang mungkin lebih mampu. Berhentilah berpikir memperpanjang kekuasaan dengan menggunakan segala cara karena itu pertanda silau kekuasaan mulai membutakan anda. Rakyat pasti akan bersatu padu untuk menggulingkan kekuasaan, jika sudah tidak lagi memberikan makna bagi mereka meski dengan resiko yang besar. Dua sejarah penggulingan kekuasaan di Indonesia dan jatuhnya Mubarak cukuplah jadi contoh, atau Bangsa ini akan terjatuh di lubang yang sama berkali- kali.

pernah dimuat di kolom opini koran tribun timur tanggal 19 februari 2011