Entah kenapa malam ini saya memilih duduk didepan kamar, memandang langit Dago yang gelap dengan sedikit bintang . . Duduk menatap langit yang tanpa batas membawaku menelusuri jejak-jejak yang telah kulalui, satu persatu orang –orang yang pernah bersua dalam hidup muncul menyapa membawa sejumput rindu. Pikiranku Menerawang jauh, menelusuri waktu demi waktu yang telah kujalani. Hidup serasa baru kemarin, tapi ribuan kisah telah terukir di benak. Tersimpan rapi dan takkan terlupa, suka duka, tangis bahagia, bercampur menjadi satu kenangan indah.
Ketika Lamunan membawaku menapaki masa kecil di kampung halaman, sepasang wajah paruh baya tak bisa berpindah, Ayah dan Ibuku memang mengisi sebagian besar memori masa kecilku. Beliau terlalu baik bagi kami anak-anaknya. Meski kami terlahir di keluarga yang tak cukup berada, kami tak pernah merasa kurang dengan Kasih sayang dan perhatian yang di berikan. Bagi mereka masa depan anak adalah segalanya, bukan sekedar kata tapi dibuktikan dengan perjuangan dan pengorbanan. saya sadar ada banyak anak yang tidak seberuntung diriku, sesuatu yang membuatku selalu merasa berdosa jika lupa bersyukur.
Menatap langit di waktu malam adalah kebiasaan Ayah Ibuku. Selepas makan malam ketika kami sedang belajar, mereka berdua memilih menatap langit dari pada menonton TV. Ditemani radio yang melantunkan lagu-lagu keroncong kesenangan Ayah. Entah apa saja yang mereka perbincangkan, tapi yang kutahu pembahasan tentang masa depan anak- anaknya adalah topic yang tak pernah usai.
Jika saya ikut duduk bersamanya, Ayah selalu menceritakan masa kecilnya yang yatim. Sekolah dengan sepasang baju dan kisah- kisah menyedihkan lainnya. Membuatku selalu merasa beruntung dan termotivasi.
Menurut Ayah, sebagai orang Bugis kita harus memegang prinsip “ Mattola Palallo”. Bahwa seorang anak seharusnya lebih sukses dari orang tuanya. Generasi penerus harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Dan keberhasilan orang tua adalah ketika mampu mejadikan anaknya sukses melebihi dirinya (mattola palallo). Jika tidak mampu melebihi cukuplah dengan menyamai kesuksesan orang tuanya (mattola pada). Baik dalam tingkat pendidikan dan kelayakan penghidupan.
Saat tam’at SMA dan lulus tes masuk di universitas, Ayah memanggilku duduk menemaninya menatap langit. Saya berpikir tentu Ayah akan berkeluh kesah dengan perjuangannya yang berat memenuhi biaya kuliah bersama 2 orang kakakku yang juga belum selesai waktu itu. Namun ayahku tak menyampaikan itu, (disuatu waktu setelahnya beliau menyampaikan bahwa keikhlasan orang tua dalam membiayai anaknya dalam mengejar cita-cita sangat mempengaruhi kesuksesannya sehingga pantang baginya berkeluh kesah). Saat Itu Ayah Berkata,”Nak, Saya berharap kamu sukses mengejar cita-citamu. Tak usahlah berpikir untuk membalas apa yang kami lakukan untukmu. Bagi kami, Ayah ibumu, hidup seperti ini sudah cukup dan kami mensyukurinya. Saya Cuma meminta kamu membalasnya dengan menjaga nama baik dan tidak mencoreng nama orang tuamu.”. Saya Cuma mengiyakan tanpa berkomentar , kata-kata ini tersimpan rapi di benakku sampai hari ini.
Dua minggu sebelum aku berangkat KKN Ayahku mendadak dipanggil menghadap Allah SWT. Seperti tak memberi kesempatan buatku untuk membalas ketulusannya ataupun sekedar mengecap buah kesuksesan apa yang telah di tanamnya. Langit Dago makin kelam, tak tampak bintang. Gerimis datang bersama air mata yang tak terasa menetes mengenang Ayah (semoga lapang disisi Allah SWT). Teringat Istriku di Makassar yang lagi mengandung anak pertamaku. Tak lama lagi aku akan menjadi seorang Ayah….. Semoga.
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku,dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai, sertaberilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku.Sungguh aku bertaubat kepada-Mu, dan sungguh aku adalah termasuk golongan orang-orang yang berserah diri."
(QS. Al-Ahqâf. 15).
No comments:
Post a Comment